Sebuah tulisan tanpa judul, 2013



Hari ini aneh sekali. Aku tau aku sudah tidur lama sekali dan ini sudah pagi. Tapi tak ada teriakan untuk membangunkanku seperti biasa. Tak ada guyuran air dan lemparan benda tumpul untuk membangunkanku. Tak ada wanita tua yang rambutnya di cat pirang untuk menjambak rambutku agar aku bisa membuatkannya sarapan.
Bahkan aku bisa mendengar suasana diluar sudah cukup ramai. Mungkin sekelompok ibu-ibu arisan bermuka dua dan pemakan harta gona-gini. Aku masih menutup mata, malas menurutku untuk bangun. Mungkin mereka lupa.
Aku tau hari ini sudah siang saat aku membuka mataku dan duduk di tepi ranjang. Semua orang kini berada di kamarku, mengelilingi tempat tidurku dan menatapku kosong. Mereka sang penunggu warisan. Kutinggalkan mereka lalu berjalan menuju kamar mandi. Kubasuh wajahku dan itu membuatku merasa lebih baik. Lalu seorang wanita datang dan memasuki kamar mandi pula, dan sedetik kemudian dia berteriak seolah baru saja melihat hantu. Aku terdiam, menatap wanita aneh itu tanpa ekspresi. Apakah wajahku seburuk itu saat  bangun tidur?
Lalu pria itu muncul dibalik pintu, dia menyapaku tanpa tersenyum sekalipun.  Wajahnya masih tak berubah saat kami bertemu lima tahun yang lalu. Tapi kini dia lebih tinggi, memakai jubah aneh berwarna hitam dan wajahnya lebih menyeramkan.

"Mereka terlihat aneh." Katanya.

Aku hanya mengangguk, lalu berjalan keluar. Kini keadaan menjadi lebih sepi. Semua menghilang. Bahkan pria itu juga menghilang. Aku melakukan banyak hal sendiri sekarang, pria itu kadang-kadang datang mengunjungiku meski hanya sebentar. Anehnya, aku jadi tak berselera untuk makan akhir-akhir ini. Hari-hariku biasa kuhabiskan dengan menonton satu-satunya siaran hitam putih di televisiku, terkadang juga memilih membaca salah satu buku tua di rak.
Aku tak pernah mempertanyakan kemana mereka pergi meninggalkanku. Mungkin mereka memang telah memutuskan membuangku setelah sekian lama menahan hal itu demi warisan. Lagipula, hidupku masih baik-baik saja meski mereka semua menghilang. Terkadang juga, aku senang duduk di bangku goyang nenek untuk menghabiskan soreku. Memikirikan banyak hal, termasuk apa yang akan kulakukan jika mereka akhirnya kembali dan ingin membunuhku.
Anehnya lagi, diluar rumah juga sangat sepi. Sama suramnya dengan siaran yang tiap hari kutonton di televisi. Semua seakan kembali ke masa lalu. Sepia.
Meski begitu, toh aku masih baik-baik saja. Tak peduli mereka ingin menghilang kemana saja, setidaknya aku tau bahwa disini, di bumi ini, pria itu masih ada. Dia masih sering datang dan menanyakan kabarku. Dia tak pernah tersenyum. Masih seperti dulu.
Semua berjalan baik-baik saja sampai di suatu sore pria itu datang menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk di kursi nenek-seperti biasa-sambil membaca sebuah buku tua berjudul "The Lost Diary". Pria itu mengulurkan tangannya padaku dan aku hanya terdiam menatapnya. Ragu, aku menerima uluran tangannya. Ia mengajakku berjalan menyusuri kota yang terlihat gersang.
Jalanan itu sangat panjang, dan aku mulai lelah. Sepanjang jalan, rumah-rumah terlihat seolah tak berpenghuni bertahun-tahun lamanya, tanah sangat gersang seolah hujan tak pernah turun setahun terakhir, tak ada awan, hanya ada langit kekuningan yang silau karena cahaya matahari yang menyengat. Layar berubah menjadi warna sepia.
Aku bertanya sampai kapan aku harus berjalan seperti ini. Tapi dia hanya diam. Dia tak pernah melepas genggamannya dan jubahnya berkibar tertiup angin. Aku menyelipkan rambutku di antara telinga, sesekali aku mengusap keringatku dan membiarkan rambut serta gaun putih panjangku tertiup angin.
Lalu, seakan baru kembali dari dimensi lain, semua terlihat berubah. Langit berwarna biru cerah, pepohonan terlihat kokoh, dan layar berubah menjadi normal kembali. Aku bertanya dimana kita berada saat ini. Tapi dia masih tetap diam. Kami kembali berjalan menyusuri bukit hijau yang indah. Sesekali, kubiarkan tanganku yang bebas dari genggaman pria itu mengambang di udara. Merasakan indahnya langit biru yang sedang tersenyum padamu.
Aneh. Dia tak pernah melepaskan genggamanku. Dia juga tak pernah menegur atau membalas ucapanku. Dia belum bicara sejak dia menjemputku tadi. Dan dia tak pernah menoleh sekalipun. Dia hanya menatap lurus kedepan. Menuntunku ke sebuah tempat yang tak kuketahui.
Dan akhirnya, disinilah kami. Di bawah pohon besar yang rindang di tengah-tengah bukit. Kami masih terdiam. Tidak, aku tidak mengikutinya kali ini. Aku hanya terdiam karena saat ini aku melihat-banyak sekali kupu-kupu. Mereka menutupi sebuah batu.
Seekor kelinci melompat ke arahku, lalu ia berdiri dengan kedua kakinya seraya menggerakkan kedua telinga panjangnya. Aku berjongkok untuk mengelus kepalanya, lalu setelah itu ia kembali melompat menjauh. Kutatap kelinci itu baik-baik, dia tak asing. Aku kembali berdiri, menatap kerumunan kupu-kupu yang masih berada di tempat semula. Kudekati kerumunan kupu-kupu itu dengan tangan masih tergenggam. Dan seketika kerumunan kupu-kupu itu terbang di atas kepalaku.
"Lihatlah."
Suaranya yang berat membuatku berhenti mendongak dan menatap batu yang awalnya tertutupi oleh kerumunan kupu-kupu tadi.
Sebuah batu. Batu dengan ukiran namaku di tengahnya. Kaanan Danracikita.
"Apa aku sudah mati?"
Dia hanya mengangguk. Menatap batu itu bersamaku.
"Sudah lama, ya?"
Dia mengangguk lagi.
Sekarang aku mengerti mengapa dulu wanita itu berteriak begitu melihatku. Mengapa tak ada seorangpun di sekitarku. Dan mengapa pria itu kini bersamaku.
"Apa mereka menangis?"
Dia terdiam.
"Mereka mendapatkan warisanku?"
Dia terdiam.
"Bagaimana kabar mereka setelah aku mati?"
Dia masih terdiam.
Aku masih tak tau apa yang terjadi. Tapi aku bisa menduga bahwa orang di desa telah terbakar api keserakahan mereka. Api yang mereka buat karena sifat iri hatinya. Api yang mereka buat karena kerasukan dan keinginan memilikinya yang kotor. Api yang membuat mereka menghilang seketika. Setidaknya aku bersyukur karena telah di kuburkan disini. Di bawah langit biru, di atas tanah hijau yang subur, dan di dalam layar normal.
Aku menatap pria yang sedari tadi menggenggam tanganku. Pria yang telah menyelamatkanku dari dunia sepia. Pria yang menuntunku menuju tempat indah seperti ini. Terima kasih. Aku mendekatinya, lalu memberinya sebuah kecupan lembut di bibirnya.
"Jangan pernah kembali di dunia menyeramkan itu, bahagialah disini." Aku tersenyum. Dia tersenyum.
Sejak aku bangun tidur, hingga detik ini. Ini pertama kalinya aku tersenyum. Tersenyum bahagia.
Kerumunan kupu-kupu itu menghampiriku, membuatku ikut terbang bersama mereka membelah langit. Memutuskan genggaman itu pada akhirnya.
Terima kasih telah membuat mereka tetap pada dunianya. Tetap terbakar dalam api kesarahannya. Dan tolong sampaikan ucapan terima kasihku sekali lagi pada pria di bawah itu. Pria yang menggenggam tanganku. Pria yang akan menangisiku. Pria yang, mencintaiku.

Comments

  1. Ηi! I knoω thiѕ is kinda off topic but I was wonԁering if уou κnew
    whеrе I could gеt a саρtсha ρlugin fоr my сomment
    form? I'm using the same blog platform as yours and I'm havіng trouble fіnԁing onе?
    Thanks a lot!

    Hеre is mу ωebρаgе: Gabrieleloper.Tblog.com

    ReplyDelete

Post a Comment