Lorong gelap berbintang jarang, 2014

Image source: @thv


Langit malam ditaburi bintang jarang-jarang. Hawa dingin sehabis hujan dan genangan air di pinggir jalan, membuat malam ini terlihat semakin menyedihkan. Saat semua orang sedang bergelut dalam selimut di rumah hangatnya, aku justru berjalan menyusuri lorong sepi. Sendirian. Handphone setengah Low Batt diam membisu, tanpa led merah yang menyala, tanpa dering mengagetkan.
Pluk. Aku menginjak salah satu genangan air di tepi aspal, membuat sebelah sandalku menjadi basah. Dingin menjalar ke seluruh tubuhku, celana pendek yang ku gunakan memang terlihat salah kostum di malam yang dingin ini. Aku kembali berjalan, menyeret kakiku yang basah menujuh tempat yang disebut rumah.
Drrt.
Sesuatu bergetar di dalam saku celanaku, membuatku terkejut dan nyaris jatuh tersandung sesuatu yang disebut polisi tidur. Buru-buru aku mengeluarkan isi saku celanaku itu, sebuah Handphone lusuh kesepian. Led kuning menyala, pertanda bahwa tenaga sang Handphone hampir habis.
Suasana kembali hening, aroma tanah yang basah seolah berbisik bahwa perjalanan ini akan lama. Kutatap ujung lorong yang gelap dengan tatapan kosong. Sampai kapan aku harus berjalan? Aku menghela nafas panjang, angin malam yang berhembus menerbangkan rambutku yang panjang. Aku memandang bintang yang sedikit itu, begitu jauh. Seperti rumah.
Sebetulnya, dimanakah rumah itu? Aku nyaris melupakan dimana rumahku sesungguhnya setelah 17 bulan tinggal di rumah lain yang disebut, cinta. Bagaimana sebetulnya sebuah rumah itu? Mengapa aku harus mencari rumah sedangkan aku bisa kembali ke rumah lainku sebelumnya?
Karena rumah yang sesungguhnya adalah tempatmu untuk pulang.
Bintang berbisik padaku bersama semilir angin malam. Aku tertawa, benarkah rumah tempatku kembali setelah pergi dari rumah lain? Benarkah rumah adalah tempat yang akan menerimaku setelah kutinggalkan 17 bulan lamanya?
Crack. Crack. Aku menoleh segera, mencari asal suara itu dengan tatapan liar. Sampai ku sadari, bahwa itu hanya dua buah daun yang bergesekan di tiup angin. Aku sendiri lagi. Angin malam kembali bertiup, menyusup melalui pori-pori dan menusuk tulang. Aku mendekap tubuhku sendiri, mencari kehangatan. Langit semakin gelap, semuanya terlihat begitu sunyi, begitu sepi. Aku merindukan rumah. Rumah yang hangat.
Seharusnya sejak awal aku sadar, bahwa rumah lain bernama cinta itu bukanlah rumah yang sesungguhnya. Saat cinta pada akhirnya menghilang, penghuni rumah sesungguhnya itu akan datang dan mengusirmu pergi. Cinta hanya seseorang yang singgah. Cinta belum tentu rumah. Tak ada yang tahu pasti mengenai cinta, tapi yang kutahu rumah yang sesungguhnya, pasti memiliki cinta.
Tiba-tiba saja energiku seolah berkumpul. Semangatku membakar mengalahkan hawa dingin sekitar. Aku kembali berjalan menyusuri lorong gelap ini. Tanpa tahu kapan ini berakhir, tanpa tahu bagaimana cara untuk kembali.
Aku menemukan rumah. Tak peduli seberapa gelapnya lorong itu, akan ada cahaya di ujung lorong sana. Waktu akan membantumu mencapai rumah itu. Rumah yang berisi kebahagiaan, rumah yang akan menerangi jalanmu, dan rumah tempatmu pulang. Karena semua akan indah setelah kita bertemu di ujung lorong yang sama, di rumah yang bersebelahan.

Dan bisa saja, rumah lainku selama 17 bulan yang lalu, ternyata bersebelahan dengan rumahku yang sesungguhnya.

Comments

  1. bagus2 tulisanmu, aaaaaa. mau follow tapi lagi gangguanki anuku-_-

    ReplyDelete

  2. Seharusnya sejak awal aku sadar, bahwa rumah lain bernama cinta itu bukanlah rumah yang sesungguhnya. Saat cinta pada akhirnya menghilang, penghuni rumah sesungguhnya itu akan datang dan mengusirmu pergi. Cinta hanya seseorang yang singgah. Cinta belum tentu rumah. Tak ada yang tahu pasti mengenai cinta, tapi yang kutahu rumah yang sesungguhnya, pasti memiliki cinta.
    -Rispuun

    ReplyDelete

Post a Comment