Beranda sepi di sudut UGM, 2016

Photo by Setyaki Irham on Unsplash
Image source @unsplash

 

Tempat ini masih sama, matahari yang terbenam dibalik gedung mirota, burung yang berterbangan saat adzan maghrib dikumandangkan, pohon mangga yang mulai berbuah, lapangan parkir yang mulai sepi, dan aku, yang masih senang hati menikmati matahari di beranda atas.

-
Universitas Gadjah Mada adalah universitas terbaik di Indonesia. Dengan kurang lebih 9000 mahasiswa baru setiap tahunnya, menjadi salah satu bagian dari mereka sangat berharga. Penerimaan mahasiswa baru akan sangat meriah tiap tahunnya. Aku adalah mahasiswi yang entah mengapa tersesat di fakultas luar biasa. Gedungku merupakan salah satu gedung lama yang dipertahankan sebagai gedung pembelajaran. Letaknya di sebelah gedung sekolah vokasi, di ujung jalan seberang KFC dan pusat pemberlanjaan favorit Yogyakarta, Mirota Kampus.

Mirota adalah sebuah gedung tiga tingkat bergaya lama yang dijadikan pusat pemberlanjaan. Lantai pertama berisi kebutuhan sehari-hari dan sembako, lantai dua berisi berbagai jenis pakaian, dan di lantai 3 berisi perlengkapan tulis. Mungkin karena letaknya yang strategis (dekat kampus dan dekat kos-kosan mahasiswa UGM) juga tentu karena harga dan berbagai promo menggiurkan, tempat ini selalu ramai.

Saat sore menjelang malam, matahari akan tenggelam di balik gedung tua ini dan memberi semburat oranye indah di sekitar gedung mirota diiringi lampu yang mulai menyala. Aku bisa menghabiskan waktuku di beranda atas berjam-jam. Mendengarkan lagu, menulis, atau sekedar menghilangkan penat setelah lelah kuliah seharian. Sesekali satpam kampus akan datang dan menyuruhku pulang, tapi setelah mereka berlalu aku akan berjingkrak pelan dan kembali ke tempat itu sampai gelap malam menyuruhku pulang.

"Woi!"
Aku menoleh ke bawah, lelaki yang dipanggil menoleh sejenak lalu memamerkan deretan gigi putihnya. Tersenyum.
"Oi! Dari mana aja?" Dia menghampiri pria yang memanggilnya, merangkulnya bersahabat lalu berlalu sambil tertawa bersama.
Aku tersenyum, dan sesederhana itulah aku mencintainya.

-

Orang bilang begitu bodoh mencintai bintang sementara kau hanya dapat melihatnya ribuan juta cahaya jauhnya dari bumi. Tapi kurasa tak apa untuk melihatnya dari jauh, bahagia melihat senyumnya, mengagumi wajah seriusnya, tertawa akan hal konyol yang dia lakukan, dan mengingat hal-hal sederhana yang dilakukannya tanpa sadar. Karena aku mencintainya seperti itu, dan aku baik-baik saja.

Aku tak pernah ingin terlibat terlalu dalam, tapi semua tentangmu memaksaku untuk terus masuk semakin dalam. Lalu disinilah aku, hanya duduk di tempat tersembunyi, melihatmu diam-diam, dan menyatakannya dalam tulisan. Sempat aku tergoda untuk mencari tahu, tapi kurasa aku tak siap. Aku hanya satu dari ribuan pengagumnya. Aku hanya wanita bodoh yang aneh. Hanya pengagum bintang. Maka biarlah aku tetap seperti itu. Tersenyum dalam senyummu, tertawa dalam tawamu, dan bahagia dalam bahagiamu.

Aku tak tahu wanita seperti apa yang akan membuatmu bahagia suatu hari nanti. Tapi aku yakin sekalipun aku menangis, aku akan bahagia dalam bahagiamu.

-

Sekali lagi, hari ini kau bersama teman-temanmu. Sekali lagi kau berjalan di belakang, bersamanya. Aku tak tahu kau memiliki banyak teman wanita, tapi kutahu dia yang mengisi ruang ruang kosong di rongga hatimu saat ini. Aku tahu itu saat kau menggenggam tangannya tanpa sadar, lalu melepaskan genggaman itu tepat sebelum yang lain berbalik.

Seolah hal itu hanya milik kalian berdua. Maka dari itu, maafkan aku yang dengan lancang mencuri momen tersebut dari kalian. Maafkan pula jika kenangan itu ikut bersamaku, setidaknya hal itu dapat menjadi alasan kenapa aku harus berhenti mencintaimu.

-

Aku memiliki sebuah buku, berwarna oranye dengan kertas kuning yang beraroma khas. Buku itu yang akan menemaniku saat aku duduk sendirian di beranda, saat aku memandangmu dari jauh. Terkadang aku akan membeli beberapa bunga lalu meninggalkannya beberapa karena aku tak pernah berani menyerahkannya padamu.

Besoknya bunga itu akan hilang.

Aku tahu petugas kebersihan mengambilnya, atau bahkan angin meniupkannya hingga terbang tak berjejak. Aku tak pernah marah, karena dengan begitu aku merasa bunga itu telah tersampaikan padamu. Sekalipun itu tak benar-benar tersampaikan, biarkanlah itu hilang bersama serpihan-serpihan perasaanku padamu.

Comments