Oranye dalam matahari yang terbenam, 2016

Pict by V BTS


Juni 2016

Sinar bulan purnama malam ini meredup. Kalah dengan lampu-lampu menyilaukan dari kendaraan yang berlalu lalang dan gedung-gedung pencakar langit di pusat kota. Aku menyeret koperku, berlalu dari padatnya bandara Adisucipto malam ini. Ku hentikan sebuah taksi, membiarkannya membawaku ke sebuah tempat yang kusebut rumah. Rumah adalah tempat untuk kita untuk pulang, tempat untuk kita menyambut mereka yang menunggu.

Suara decit ban menyadarkanku bahwa aku baru saja sampai ke tempat yang kusebut rumah. Aku melangkah pelan, memasuki sebuah halaman yang dipenuhi mawar.

"Kenapa harus mawar yang kita tanam, eyang?" Tanyaku yang dulu masih berumur lima tahun. Dia tak menjawab, hanya tersenyum lalu memetik sebuah mawar berwarna merah.
"Hiruplah aromanya, Ko," katanya lembut. Semenjak saat itulah aku tak pernah menanyakan hal bodoh lainnya.

Aroma khas mawar menyambutku, membuat dadaku sedikit bergejolak. Rindu.

Suara pintu berdecit pelan, seorang wanita paruh baya muncul dibalik pintu dingin bergaya Belanda tersebut. Rambutnya dibiarkan tergerai di sebelah kepalanya. Matanya menatap sayu. Dan senyumnya menenangkan.

"I'm home, Mom."

Wanita itu memelukku, mengelus punggungku pelan. Kubiarkan kepalanya bersandar di pundakku, keriput di sekitar matanya bahkan memperindah bentuk wajahnya. Aku telah pulang. Aku telah menyambut mereka yang menunggu, setelah hampir 10 tahun lamanya.

-

Ayah dan ibuku bercerai saat aku berumur tujuh belas tahun. Jika orang-orang mengatakan bahwa tujuh belas adalah angka yang indah pada perjalanan hidupmu, maka aku tak begitu setuju. Tujuh belas pada lilin yang ditancapkan di kue ulang tahun adalah sebuah tanda, bahwa sebuah keputusan besar sebentar lagi harus diputuskan. Masa depan memaksa untuk diperhatikan meski masih terlalu kabur. Kejadian yang tak terduga, juga menjauhnya orang-orang atas segala hal yang kau lakukan. Tujuh belas tahun adalah waktu untukmu sendirian.

Orang tuaku membuktikannya. Saat kau harus memutuskan untuk bersama siapa? Meneruskan hidup seperti apa? Ingin menjadi siapa?

Sebuah bola sepak menyentuh kakiku. Aku menoleh, mendapati seorang anak laki-laki berlari menghampiriku.

"Maaf kak, tidak sengaja." Katanya dengan suara terengah-engah.

Aku tersenyum, mengambil bola itu dan menyerahkannya. "Tak apa, bermainlah kembali. Bersenang-senanglah selagi bisa."

Anak laki-laki itu tersenyum lebar sekali, mengucapkan terima kasih lalu berlari untuk bergabung bersama teman-temannya di lapangan. Kupandangi wajah-wajah bahagia mereka, tersenyum tanpa beban, tertawa seolah tak peduli pada angka tujuh belas yang akan menghampirinya nanti. Melupakan segalanya dan hanya bersenang-senang utuk hari ini. Seperti aku. Dulu.

Aku memandang sekitar sekali lagi. Anak-anak yang bermain sepak bola di lapangan, langit senja berwarna oranye, angin sepoi yang mengoyangkan dedaunan, dan seorang wanita yang sedang tersenyum di taman sebelah lapangan. Aku kembali berjalan menyusuri jalan, namun terhenti sedetik kemudian.

Wanita.
Sebuah senyum yang tak asing.
Taman di sebelah lapangan, dan langit senja berwarna oranye.

Aku menoleh, menatapnya sekali lagi. Dengan mata yang sedikit melebar yang kini menatapku. Ini masih tentang rumah dan mereka yang menunggu.
Audiku.
Wanita senjaku.

-

Desember 1996

"Hei, apakah sakit?"

"Apanya?" Tanyaku pura-pura bodoh.

"Kakimu," jawabnya hati-hati.

"Tidak. Laki-laki harus terbiasa sama rasa sakit." Kataku pongah sekalipun air mata telah menggenang di pelupuk mataku.

Dia berjalan mendekat, duduk di sebelahku dengan hati-hati. Dilepaskannya tas kecil berwarna merah jambunya dan mengeluarkan sebotol air. "Aku seorang dokter. Tenang, aku tak membawa jarum suntik seperti yang ayahku gunakan. Tapi aku membawa obat. Boleh, aku mengobatimu?"

Aku menatap gadis kecil dihadapanku. Wajahnya berwarna oranye terkena sinar matahari senja, rambutnya terurai dan poninya jarang-jarang, matanya teduh namun sedikit was-was. Mungkin karena menahan perih, aku hanya mengangguk dan percaya bahwa dia seorang dokter.

Dia tersenyum puas begitu melihatku mengangguk. Dengan sebotol air dia menyiram lukaku, mengeluarkan sebotol obat merah dan kapas, mengoleskannya lembut pada lukaku, dan pada sentuhan akhir menempelkan sebuah hansaplast bergambar binatang.

"Selesai," katanya tersenyum bangga. Dia mengumpulkan seluruh peralatannya, memasukkannya di tas merah jambu mungilnya dan berdiri menatapku. "Jika bertambah sakit, datanglah ke rumahku. Ayahku pasti bisa membuatmu sembuh."

Aku tak menatap matanya, sedikit salah tingkah karena telah menunjukkan sisi lemahku pada seorang anak perempuan yang bahkan tak kukenal.

Dia kemudian tersenyum kikuk, "kalau begitu aku pulang dulu." Katanya sambil berlalu dari hadapanku.

"Hei!" Langkahnya terhenti, dia berbalik.

Aku berdiri dengan susah payah, mencoba memberi senyumanku yang paling tulus. "Namaku Niko," teriakku. "Dan terima kasih banyak sudah menolongku."

Senyumnya melebar, "sama-sama!" Dia ikut berteriak sambil sesekali melambai. "Namaku Audi. Audia!"

Dan seperti itulah aku mengenalnya. Gadis kecilku. Dokterku. Wanita dalam senjaku.

-

Januari 2005

Aku bertemu Audi saat aku berumur 7 tahun. Aku mengenalnya sebagai seorang dokter yang menolongku saat terluka dan menghilang begitu saja setelah kejadian itu. Saat rasa penasaran memenuhiku, aku akan bermain sedikit lebih lama sampai hari gelap. Hanya untuk menunggunya.

Suatu hari aku mengelilingi kompleks rumahku, menanyakan di orang sekitar namun nihil. Aku bahkan pernah dengan sengaja melukai kakiku, tapi dia tak kunjung datang. Dan saat itu kutahu aku harus berhenti.

Aku masih mengingat bagaimana wajahnya, matanya yang teduh, dan senyumnya yang menular. Bahkan setelah bertahun-tahun, aku masih mengingatnya. Maka saat seorang gadis berjalan memasuki kelasku di tahun terakhir sekolah menengah, saat itu pula aku tahu itu dia. 
Tak ada lagi poni yang jarang-jarang, namun mata teduh itu masih sama.

Dia tersenyum, membuatku salah tingkah. "Namaku Audi, Audia."

Aku tahu.

"Aku baru saja pindah beberapa minggu yang lalu," lanjutnya.

Aku mencarimu.

"Semoga kedepannya kita bisa berteman baik. Mohon bantuannya." Dia mengakhirinya dengan senyuman, membuat seluruh kelas menjadi riuh.

Dia berjalan ke sudut ruangan, menempati bangku yang selama ini kosong ditinggal pemiliknya. Beberapa orang menyapanya, bahkan beberapa mencoba berkenalan secara personal. Aku hanya menatapnya, sesuatu di dadaku terasa menggelitik. Lalu tatapan kami bertemu, dia tersenyum mengucapkan halo tanpa suara.

Pencarianku telah berakhir, aku menemukanmu.

Aku tersenyum, membiarkan rasa menggelitik itu menjalar di seluruh tubuh.

Aku merindukanmu.

-

Juni 2016

Bulan purnama masih bersinar redup. Jalanan yang berwarna hitam gelap dan lampu jalan yang bersinar terang terlihat kontras, namun indah.

Aku dan Audi berjalan beriringan dalam diam setelah bertukar sapa dan obrolan ringan di taman. Bintang-bintang hilang bersembunyi, seakan ikut gugup pada pertemuan kami. Ini pertemuan kami pertama kalinya sejak sepuluh tahun yang lalu. Sejak tragedi tujuh belas tahun yang memilukan.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya hati-hati.

"Baik-baik saja. Bisa diatasi." Jawabku pelan, sedikit gugup.

Aku merasakannya tersenyum, tapi tak mengatakan apa-apa. Hening. Kami berhenti di persimpangan jalan, tempat kami selalu berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Terima kasih," dia tersenyum tulus. Ada jeda sejenak, sebelum akhirnya kami saling menatap dan tertawa.

"Rasanya seperti baru kemarin," kataku salah tingkah.

"Iya," dia tersenyum lagi, tapi kini bersama rona merah di kedua pipinya. Hening kembali, tapi kini aku tahu semuanya masih baik-baik saja.

"Aku akan pulang," dia menegakkan kepalanya, menatapku terlebih dahulu. "Bye, Niko."

Aku menatap matanya, membiarkan pesonanya memasukiku. "Careful."

Bintang perlahan menujukkan kerlipnya, seakan menerangi jalanmu untuk pulang. Sementara aku masih disini, menatap kepergianmu. Seperti dahulu, Audi. Tanpa ucapan sampai jumpa, tanpa janji bertemu di hari esok, dan potongan cerita yang tak kunjung selesai.

Masih seperti dulu.

-

Januari 2005

Aku berjalan pulang dengan rasa yang tak kuketahui. Lega, tapi tak puas. Mejanya dipenuhi orang-orang setiap jam istirahat berlangsung. Membuatku tak punya waktu untuk menanyakan tentang masa lalu. Aku bisa saja ikut berkunpul di mejanya lalu menanyakan hal itu, tapi kurasa aku tak bisa. Seolah aku tak mau berbagi kenangan kami. Seolah hari itu hanya milik kami berdua.

"Hei."

Aku berbalik, menemukan pemilik suara itu di belakangku. "Niko, kan?" lanjutnya.

Aku tersenyum kikuk, sedikit salah tingkah setelah larut dalam pesonanya. "Hai, Audi"

"Rumahmu dekat sini?"

"Ah? Iya, rumahmu daerah sini?"

"Iya, rumah eyang. Waktu kecil aku sering kesini, rasanya sudah lama sekali. Aku sering main disitu!" Dia menunjuk taman di sebelah lapangan bola.

Aku terdiam, dia tidak mengingatku?.

Audi tertawa kecil di sebelahku, "aku dulu suka sekali berlagak seperti dokter, pasien pertamaku anak laki-laki yang hampir menangis karena terluka." Dia kembali tertawa, "semoga dia benar-benar sembuh, aku takut lukanya semakin parah karena sifat sok tahuku"

"Rumahku di ujung gang sana," Audi menatapku. "Senang punya teman mengobrol saat pulang, bye Niko!" dia berjalan ke arah berlawanan, menjauh.

"Itu aku," bisikku pelan.

Langit berubah oranye, menggiring kepergianmu yang semakin menjauh. Setidaknya kali ini aku tahu, bahwa ada hari esok yang bisa kunantikan tanpa takut tak bisa melihatmu lagi.

Comments