Rintik Hujan yang Merindu, 2014

This short story has been published by IPM Cab. Karunrung as one of the selected nominees from the Cerpen On Tournament (COTO) 2014.


Agustus 2013

Di langit, awan menggelap. Tetes demi tetes air hujan jatuh darinya. Debu-debu yang tadi menutupi jalan kini perlahan hilang seolah ditelan hujan. Orang-orang yang masih berada di jalan mulai berlarian, mencari tempat untuk berteduh.

“Kau tahu apa yang turun bersama hujan?”

Sementara itu, tetesan hujan semakin lama semakin deras.

Sial. Aku terjebak lagi.

***

November 2010.

Musim hujan mulai menyapa di awal November. Pagi itu, awan-awan yang kehitaman terlihat berkumpul di langit. Membuat pagi menjadi lebih gelap dan lebih dingin dari biasanya. Angin mulai berhembus cukup kencang pertanda hujan akan turun tidak lama lagi sedangkan Aku masih di tengah perjalanan menuju sekolah. Mataku tidak berhenti mengawasi langit yang semakin gelap. Aku merasa sedang berlomba melawan hujan, menduga siapa yang lebih dulu sampai di sekolah.

Benar saja, hujan mulai turun perlahan. Tetes demi tetes air mulai membasahi aspal. Kupercepat langkahku agar bisa sampai ke sekolah sebelum hujan deras membasahi seluruh tubuhku. Tiba-tiba sebuah angkutan umum melintas di depanku, tepat di atas genangan air bekas hujan di tepi trotoar yang menyebabkan genangan air bercampur lumpur itu terciprat tepat ke arahku. Sial. Akibatnya, seragam sekolahku yang awalnya berwarna putih bersih kini menjadi basah dan  kotor, ditambah lagi bau aneh dari air genangan bercampur lumpur yang sudah mengendap di sana sejak kemarin. Lebih parah lagi, kertas fotokopian berisi soal titipan wali kelasku untuk ujian hari ini ikut menjadi korban. Mati aku.

Tetes air hujan semakin menjadi-jadi tepat ketika akusampai di sekolah. Dengan tangan penuh kertas fotokopian yang basah, aku berlari menuju koridor yang pagi itu masih sepi. Seorang anak perempuan berseragam sekolah telah terlebih dahulu berdiri di sana.

Aku berdiri di sebelah gadis itu. Dengan kesal aku mencoba membersihkan seragamku. Aku tidak mungkin pulang untuk mengganti seragam, hujan semakin deras dan Aku tidak membawa payung.

"Kau tau apa yang turun bersama hujan?", Suara gadis itu memecah pikiranku.

"Ah?" Aku menoleh, menatap gadis itu dengan bingung. Sudut bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyum.

"Malaikat", Katanya lagi.

Aku terdiam, menatap bingung gadis di sebelahku ini. Ia menoleh padaku, dan baru kusadari bahwa ia mengenakan seragam sekolah yang sama denganku. Rambutnya hitam sebahu, kulitnya putih bersih. Cantik. Tangannya lalu dikibas-kibaskan ke sebelahnya, sehingga mau tak mau aku terkena percikannya.

“Ah, Maaf’, katanya sambil tertawa. Anehnya, Aku menangkap kesan yang hangat di tawanya itu. Dia kembali menangkap tetesan hujan yang jatuh dari atap dengan menengadahkan telapak tangannya ke atas. Sesekali percikan air hujan memantul dan mengenai wajahnya yang sedari tadi kehilangan senyum. Dia tertawa lagi.

Aku tidak tahu apakah dia menyadari aku sedang memperhatikan tingkahnya dan mencoba menebak-nebaknya. Mengapa dia bisa memakai seragam yang sama dengankusedangkan Aku bahkan tak pernah melihat dia sebelumnya? Apa dia siswi baru? Atau dia siswi pindahan?

Sisa hujan itu dihabiskan dalam diam. Si gadis dengan tatapan kekanakan masih saja  bermain dengan hujan,sesekaliaku memastikan kertas fotokopian yang kubawa tak menjadi korban hujan untuk kedua kalinya.

Hujan perlahan mereda, dan aku melangkah menjauhi gadis itu. Tanpa menoleh ke belakang. Tanpa mengetahui apa gadis itu akan tetap di sana, atau ikut pergi sepertiku. Tanpa mengetahui apa gadis itu nyata atau hanya khayalanku saja.

***

Belakangan ini, matahari lebih redup dari biasanya.Awan-awan gelap masih sering menghalangi sinarnya untuk sampai ke bumi. Menghantui perjalananorang-orang di bawahnya. Termasuk Aku yang setiap pagi harus berjalan menuju sekolah.

Langkahku terhenti begitu melihat sosok tak asing di hadapanku. Itu si gadis yang tempo hari berteduh di sebelahku. Gadis yang senang memainkan air hujan itu. Kali ini Ia berdiri anggun dengan sebuah payung transparan dalam genggamannya.

Sadar sedang ditatap, gadis itu menoleh menatapku."Oh, hai",katanya santai.

"Hai."Jawabku kikuk. Tanpa diperintah, aku melangkah ke sebelahnya. "Sedang apa?"

"Menunggu hujan."

"Ha?" Sekali lagi, aku hanya bisa menatapnya aneh.

"Mungkin kau harus segera bergegas sebelum hujan membuatmu tetap disini." Katanya tulus.

Aku menatap langit yang telah dipenuhi awankehitaman, mungkin dia benar. Dengan langkah yang Aku percepat, Akuberjalan menjauhinya, masih tanpa berbalik. Tanpa memperdulikan apakah dia masih disana atau tidak. Dan masih mempertanyakan apa ia nyata, atau sekedar khayalanku saja.

***

Sepertinya aku betul-betul membenci hujan. Dua minggu terakhir hujan terus saja turun setiap hari. Sekolah telah sepi dari tadi, begitu bel berbunyi, semua orang seperti terburu-buru pulang, takut terjebak hujan. Aku melangkah di bawah langit yang lagi-lagi gelap meskipun hari sudah lewat siang dan belum sampai sore. Hawa dingin sebenarnya membuatku enggan beranjak meski aku juga takut kehujanan.

Tes.

Aku mendongak, dan ribuan tetes air menyerbu. Sial, hujan lagi.

Aku berlari berteduh di depan aula sekolah, hujan semakin deras dan sepertinya akan cukup lama. Kuhempaskan tubuhku di atas bangku kayu tua yang ada di depan aula, mungkin sebaiknya besok akuharus pulang lebih cepat.

"Sendiri saja?"

Aku tersentak kaget. Lagi-lagi suara gadis itu membuyarkan lamunanku. Dia kini telah duduk kalem di sebelahku, Sejak kapan gadis ini datang? Suara tetesan air menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Aku diam, bertopang dagu menunggu hujan reda, sedangkan si gadis yang sampai sekarang belum Aku tahu namanya itu terlihat menikmati tiap tetes hujan di hadapannya, seperti pertama kali Aku bertemu dengannya.

"Apa kau begitu menyukai hujan?", Aku akhirnya memberanikan diri bertanya.

"Aku mencintainya." Ia tersenyum, masih menatap tetes hujan di hadapannya. "Mungkin suatu hari kau juga akan merindukan hujan."

“Merindukan hujan?”, tanyaku. Dia diam.

Cukup lama Kami berdua duduk di sana. Hujan yang awalnya turun dengan liarnya, berangsur-angsur mulai mereda. Sinar matahari menyembul diantara awan, menyinari gadis itu.

"Kenapa Kau begitu menyukai hujan?" Tanyaku polos.

"Tidakkah Tuhan adil memberi hujan setelah kemarau berkepanjangan?",Ia kembali tersenyum, wajahnya berseri-seri. "Tidak bisakah kalian berhenti mengeluh sebentar saja, dan mencoba bersyukur akan hujan ini?"

"Hujan membuatmu basah, apa yang harus disyukuri?" Tanyaku kesal.

"Tiap tetes hujan adalah rezeki. Kau tau apa yang turun bersama hu-"

"Malaikat." Potongku.

"Dan malaikat-"

"Membawa keberuntungan." Potongku lagi.

Gadis itu tertawa. "Kau takkan pernah tahu sebelum mencobanya", katanya sambil mengayun-ayun kakinya yang tergantung.

"Cobalah untuk mencintai hujan.", lanjutnya lagi.

"Siapa kau?"

"Malaikat.", Gadis itu menatapku dengan senyum yang harus kuakui, begitu memikat.

Aku menoleh, menyembunyikan senyumku yang mulai mengembang.

"Gema", kataku. “Namaku Gema”

Aku bisa melihat senyumnya yang dikulum dari sudut mataku. Wajahnya sedikit memerah kedinginan. Hujan mulai berubah menjadi titik-titik air yang jatuh perlahan. Dan aku tahu ini tanda untuk segera pulang. Aku berdiri dan berjalan melewati gadis itu. Dia tetap memainkan kakinya, enggan beranjak bersamaku.

Kau takkan pernah tahu sebelum mencobanya.

Langkahku terhenti akhirnya, di bawah rintik hujan aku berbalik. Gadis itu masih di sana, benar-benar ada. Gadis yang selalu merindukan hujan. Gadis dengan pandangan yang kenakanan. Gadis yang menyebut dirinya Malaikat. Gadis yang tidak aku tahu, bahwa hari itu di depan aula sekolah, adalah terakhir kali aku akan melihatnya.

***

Agustus 2013

Panas terik menyapu seluruh kota. Membuat beberapa orang mengeluh kepanasan. Aku berjalan dengan sebuah kamus tebal yang susah payah kumasukkan ke dalam tas yang telah penuh.

"Apa hujan akan turun? Disini panas sekali." Aku menoleh, menatap seorang anak kecil yang berdiri bersama ibunya tak jauh dariku. Ibu anak itu mengelus kepala anak kecilnya seraya tersenyum penuh kesabaran lalu menuntun anaknya menyebrangi jalan bersamanya. Aku berbalik memandang langit. Apa hujan akan turun?

Tiba-tiba Aku mengingat gadis penyuka hujan yang Aku temui tiga tahun lalu. Aku tertawa, gadis itu benar. Aku merindukan hujan. Apa kau akan turun bersama hujan lagi? Bisakah kita bertemu lagi?

Aku mendongak. Entah sejak kapan langit yang tadi cerah tiba-tiba menjadi berawan. Musim hujan seharusnya belum datang. Satu tetes hujan mengenai pipiku, lalu disusul oleh ribuan, mungkin jutaan tetes lainnya. Orang-orang yang masih berada di jalan mulai berlarian, mencari tempat untuk berteduh.

"Senang bertemu denganmu, hujan"

Aku menoleh, dan gadis itu telah berdiri di sebelahku.

"Naiya." Ia berbalik menatapku. "Namaku Naiya."

"Kau tau apa yang turun bersama hujan?" 




Comments